BAIK juga, komodo menjadi topik hangat sepekan terakhir. Pro dan kontra promosi binatang langka di NTT itu bisa mengungkit kembali popularitas komodo yang mulai meredup. Setelah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelumnya, Ke menbudpar) menstop promosi biawak yang bernama latin Varanus Komodoensis itu melalui Yayasan New7 Wonders. Selama tiga tahun kementerian ini sibuk meng habiskan energi untuk mendorong kadal raksasa itu agar tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. UNESCO sendiri sudah mendaftar komodo se bagai world heritage sejak 1991. Lalu, Kemen budpar ingin menaikkan agregat popularitasnya melalui lembaga New7 Wonders, dengan cara menghimpun votes, melalui email dan SMS. Selama tiga tahun pula, setiap kegiatan pro mosi luar negeri, gambar binatang yang lidahnya menjulur-julur itu menghiasi stan Merah Putih.
Kartu nama pejabat-pejabat kementerian kala itu juga dengan bangga menampilkan desain ajakan vote komodo Sido Muncul misalnya, menjadikan tema Labuan Bajo dan Komodo sebagai ikon iklan produk Kuku Bima. Saya yang hobi diving pun bermimpi ke sana, agar bisa melayang-layang di kedalaman 10-25 meter di bawah barisan ikan pari yang menarinari dengan tubuh pipih dan berbuntut panjang itu. Lalu memotret keindahan warna-warni terumbu karang, sekaligus mengintip tempat bercengkerama ikan-ikan nemo, dori, spongebob, patrick, squidward dan koncokonconya itu. Tetapi, ketika penyelenggara vote, New7 Wonders dikabarkan meminta bayaran dengan angka yang wow, Sapta Nirwandar, Wamen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (dulu masih Dirjen Pemasaran Kemenbudpar), menarik diri. Komodo distop, tidak lagi diperjuangkan menjadi satu di antara tujuh keajaiban dunia. Promosi komodo pun dihentikan.
Kartu nama pejabat-pejabat kementerian ikut diubah menjadi foto Tour de Singkarak, Sumbar, dengan lima peserta cycling, background danau, sawah dan pohon nyiur. Logo komodo di-replace menjadi Wonderful Indonesia. Perbin cangan seputar komodo pun tidak senyaring dulu. Belakangan, polemik komodo –yang oleh penduduk asli NTT sana dinamai “ora” ini-- menyem bur lagi ke permukaan. Ini setelah Mantan Wapres Jusuf Kalla diangkat menjadi Duta Besar Komodo. JK langsung berkampanye, mengajak media ke Labuan Bajo, memobilisasi orang untuk mengirim SMS sebanyak-banyaknya, sampai bernegosiasi ke operator seluler, agar biaya SMS Komodo menjadi Rp 1,-, dari sebelumnya Rp 1.000,-. JK bicara amat strategis, komodo itu bukan sekedar warisan budaya, tetapi ada potensi pariwisata di sana.
Apa susahnya mengikutsertakan Pulau Komodo di New7 Wonders? Kan promosi gratis? Kalaupun tidak menang, kan sudah menjadi bahan perbincangan internasional? Pembangunan di Taman Wisata Komodo juga bisa dipercepat? Akses diperluas, dipercepat, makin menjadi prioritas? Ekonomi masyarakat di sana naik? Semua positif kok? Soal kekhawatiran dana, yayasan itu kan diaudit oleh akuntan internasional? Mengapa harus distop? Apalagi, keikutsertaan di New7 Wonders itu juga tidak dipungut biaya? Logika JK juga masuk akal. Sengatan isu komodo pun semakin “ganas”, ketika JK menuding pemerintah terkesan mencari- cari kesalahan Yayasan New7 Wonders saja? Terutama setelah Dubes RI di Swiss, Djoko Susilo melakukan investigasi ke kantor News7 Wonder di Zurich.
Mantan senior saya di Jawa Pos itu menyebut yayasan itu tidak kredibel. Kantornya di Hoeschgasse 8, P.O. Box 1212, 8034 Zurich, kode posnya tidak sesuai dengan alamat aslinya, Hoeschgasse 8 P.O. Box 1212, 8008 Zurich. Ternyata, itu alamat museum Heidi Weber, yang hanya buka pada musim panas (Juni, Juli, Agustus) saja. Djoko menyebut, itu tidak layak sebagai organisasi kelas dunia. Public di Swiss juga terlalu familiar dengan yayasan itu. Alamat emailnya berdiri di Panama, berbadan hukum Swiss, dan pengacaranya di Inggris. Sapta Nirwandar sendiri masuk akal, tidak mau ditagih untuk membayar 45 juta USD, sekitar Rp 400 M. Darimana duit segede itu? Mending dipakai untuk promosi sendiri? Beriklan di CNN, National Geographic, baliho di Kuala Lumpur, Singapore, Australia, Eropa, dan kota-kota yang antusias dengan objek wisata Indonesia, video tourism di SQ, liflet dan even international di Pulau Komodo. Polemik itu terus bergulir.
Terus terang, saya tidak ingin perdebatan ini cepat berakhir. Biarkan lebih lama lagi, lebih asyik. Menurut saya, kedua kubu samasama masuk akal. Cara JK oke. Cara Sapta Nirwanda dan Djoko Susilo juga tidak salah. Duaduanya boleh berjalan sendirisendiri, toh yang diuntungkan Pulau Komodo? Semakin runcing perdebatan itu, semakin baik buat masa depan Komodo sebagai tujuan wisata baru. Biar tidak Bali-Lombok melulu. Asal, polemik itu jangan sampai melupakan hak hidup komodo itu sendiri? Sebenarnya, siapa sih yang peduli komodo? Siapa yang meneteskan air mata, ketika seekor komodo penghuni Kebun Binatang Surabaya (KBS) mati, pekan lalu? Siapa yang tertarik mendengar hasil autopsi komodo naas itu? Yang konon gara-gara makan plastik? Kok sampai kelaparan gitu? Menyedihkan sekali? Siapa yang menangisi nasib konservasi binatang purba itu? Tidak banyak yang punya rasa peri kebinatangan? Itu menunjukkan bahwa polemik seputar New7 Wonders, soal World Heritage, soal binatang purba yang langka, soal konservasi, soal promosi komodo, hanya asyik di lapisan atas. Hanya asyik menjadi bahan perdebatan, yang berujung politis. Publik, tidak banyak yang tahu, bahkan mungkin tidak mau tahu, problem besar apa yang sedang mengancam komodo? Tidak ada yang menangisi kepergian si komo kan! Kalaupun ada, saya curiga, itu hanya “air mata komodo”!
sumber : Indopos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar