JAKARTA- Kelangsungan hidup Orangutan di bumi Kalimantan terus terancam. Meski sudah ma suk sebagai hewan langka yang dilindungi, populasi orangutan berada di ambang kepunahan. Menyusul pembantaian terhadap Pongo Pygmaeus itu karena dianggap sebagai hama kelapa sawit .
Ironisnya, pemerintah, maupun aparat belum bereaksi atas tragedi ini. The Nature Conservancy dan 19 organisasi swasta lainnya termasuk WWF dan Asosiasi Ahli Primata Indonesia dan beberapa pengamat melakukan survei untuk mengetahui tentang kebenaran adanya pembataian tersebut.
Mereka mewawancarai 6.983 orang di 687 desa di tiga provinsi Kalimantan antara bulan april 2008 hingga september 2009. Hasil yang ditemukan adalah setidaknya 750 orangutan telah tewas dalam periode waktu setahun itu Lebih dari setengah responden yang diwawancara bahkan mengaku setelah membunuh, mereka memakan daging orangutan tersebut. Orangutan tersebut dibunuh karena mengganggu tanaman milik warga.
Meskipun pihak kementerian kehutanan Indonesia belum banyak berkomentar mengenai masalah ini, namun melihat banyaknya bukti tengkorak, kulit, dan bagian tubuh orangutan yang tergeletak berserakan di hutan, fakta ini merupakan fakta yang cukup mengerikan.
Menurut hasil penelitian dilakukan Perhimpunan Pemerhati dan Peneliti Primata Indonesia (Perhappi) dan The Nature Conservancy (TNC), April 2008 hingga September 2009, menunjukkan adanya “perebutan ruang” antara manusia dengan orangutan. Belakangan mencuat isu bahwa negara tetangga, Malaysia, diduga turut melakukan pembantaian terhadap spesies orangutan yang berada di areal konsesi perusahaannya.
Namun, peneliti dari Pusat Peneliti Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin mengatakan, keterlibatan pengusaha negeri Jiran tersebut dalam pembantaian orangutan belum bisa dibuktikan. “Setahu saya, hal itu belum bisa dibuktikan,” terangnya, kemarin (16/11). Bahwa pengusaha Malaysia memiliki saham di perusahaan di Indonesia, itu adalah benar. Meski tak bisa dikatakan mereka turut “merekomendasikan” pembunuhan orangutan.
Yaya juga mengatakan, sebaiknya Pemprov Kaltim tak menutup mata terkait permasalahan kelestarian orangutan. Meski wewenang mutlak berada di tangan pemerintah pusat, namun pemprov diharapkan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pembantaian spesies yang memiliki kesamaan DNA (deoxyribonucleic acid) mencapai 96,4 persen dengan manusia.
Sekadar diketahui, pada 2007 silam, sebanyak 750-1.800 orangutan mati di Indonesia. Ribuan kematian orangutan terjadi di tahun-tahun berikutnya. Penelitian dilakukan oleh Perhappi dan TNC mulai April 2008 hingga September 2009, dibantu sebanyak 18 lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di antaranya WWF, FK3I, Yayasan Palung, PRCFI, Yayasan Riak Bumi, Yayasan Simpur Hutan, Yayasan Dian Tama, SuAR Institute, Sylva-Untan, Titian& Akar, BOSF, FNPH, MLH, OFI, Perhimpunan Teropong, YCI, BEBSIC & BIOMA.
Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Perhappi menjelaskan metode survei yang dilakukan. Ada 725 desa di 187 kecamatan dan 41 kabupaten di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, yang disurvei. Salah satu temuan lain dari survei ini adalah mengenai konflik orangutan dengan manusia. “Konflik diartikan orangutan memasuki kebun atau ladang,” kata Niel.
Lalu, warga menganggap orangutan tersebut sebagai hama. Yaya Rayadin beberapa waktu lalu mengatakan, terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orangutan dengan perusahan kelapa sawit. Sebagian besar perusahaan sawit masih menempatkan orangutan sebagai hama sehingga tindakan yang dilakukan terhadap orangutan juga persis seperti memberantas hama. Memposisikan orangutan sebagai hama di kebun sawit, menurut dia, mungkin wajarwajar saja dari perspektif pengusaha.
sumber :Indopos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar