7 Nov 2011

Freeport di Atas Angin


Hiruk Pikuk Politik Lupakan Renegosiasi

JAKARTA-PT Freeport di atas angin. Hiruk pikuk politik di Papua ’’melalaikan’’ persoalan re negosiasi kontrak karya. Isu se paratisme, karyawan PT Freeport yang mogok kerja, penembakan warga sipil, dan angpao untuk aparat keamanan membuat banyak orang lupa mengenai perjanjian dengan perusahaan tambang asal Amerika yang di rasa tidak adil. Di sisi lain, kekayaan alam te rus dieksplorasi dan dieksploi tasi tanpa mengindahkan aspek ekologis dan tanpa mem berikan kesejahteraan kepa da warga. Masyarakat setempat hanya menerima getahnya. ’’Negara seperti sudah nya man berada di ketiak Freeport. Padahal, perusahaan asal Negeri Paman Sam ini sudah mengeruk kekayaan alam di tanah air tanpa ada bagi hasil yang adil,’’ kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indo nesia (Walhi) Berry Nahdiyan kepada INDOPOS kemarin. ’’Apa namanya kalau bukan nyaman berada di ketiak korporasi seperti Freeport.

Padahal, ratusan miliar per hari diangkut dari bumi ini. Belum lagi mereka sudah membuang ribuan ton limbah sisa tambang yang dampaknya luar biasa bagi tanah Papua,’’ lanjut Berry. Berbicara dosa-dosa Freeport, lanjutnya, bukan lagi soal lingkungan. Tapi soal kedaulatan dan keadilan di Indonesia. Di mana keberanian SBY kepada Freeport yang sudah jelas-jelas telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa ’’Terbukti, dari hasil audit lingkungan yang pernah dilakukan sebelumnya, terungkap bahwa bahwa tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan perairan di Papua.

Berapa spesies yang sudah mati, dan berapa ribu penduduk yang telah mengonsumsi racun dari tambang itu dengan tanpa sadar. Di mana pemerintah saat ini?’’ tanya dia. Terlebih, lanjutnya, Freeport kerusakan lingkunan yang ditimbulkanya, jelas-jelas telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa kerusakan lingkungan yang secara kasat mata bisa dilihat saja jelas-jelas telah mematikan lebih dari 23.000 hektare hutan di wilayah pengendapan tailing. ’’Itu sudah mengubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing,’’ paparnya. Karena itu, Berry kemabali menegaskan, tambang Freeport adalah bukti salah urus sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua.

Meskipun Pemerintah sadar bahwa bagi hasil selama ini dirasa tidak adil. ’’Sudahlah cukup untuk Freeport ada di Indonesia,’’ pungkasnya. Patut diketahui, PT Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMo- Ran Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan USD 6,555 miliar pada 2007.

Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia. Juru Bicara PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait yang dihubungi INDOPOS tadi malam tidak menjawab telepon. Namun sebelumnya dia menyatakan bahwa perusahaan asal Amerika Serikat tersebut selalu tunduk pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sampai saat ini, katanya, Freeport beroperasi berdasarkan Kontrak Karya kedua yang berlaku sejak 1991 dan ditandatangani bersama pemerintah Indonesia. ’’Kami menghormati dan mematuhi ketentuan- ketentuan di dalam kontrak karya tersebut,’’ kata Ramdani Sirait. Sementara itu, Ketua Fraksi PKB di DPR Marwan Jafar mengungkapkan, keberadaan Freeport di Papua tidak bisa lepas dari gejolak yang saat ini terjadi di Bumi Cenderawasih. Tak bisa dipungkiri keduanya saling berkaitan.

Apalagi kehadiran Freeport sejak awal memang menambah makin sensitifnya rakyat Papua. ’’Fakta membuktikan selama ini kehadiran Freeport belum banyak dirasakan seluruh rakyat Papua. Meskipun saya yakin bukan berarti Freeport tidak memberikan dana bagi hasilnya pada pemerintah RI, tetapi pemerataan manfaat yang masih jauh panggang dari api,’’ paparnya kepada INDOPOS, kemarin. Parahnya, lanjut Marwan, persoalan ini banyak dimanfaatkan para ’pemain-pemain’ demi kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan semuanya sudah tersistematis dan bekerja dengan baik. Tentunya masing-masing sudah mendapat jatah dan bagian. Akibatnya, terjadi ’penumpukan’ hasil alam Freeport yang harusnya bisa bermanfaat bagi Papua dan Indonesia kepada segelintir orang. ’’Saya tidak bisa menjelaskan detail siapa saja pemainnya. Namun saya pastikan itu ada.

Contoh kecil saja pemberian jatah pengamanan dari Freeport ke pihak keamanan. Ternyata benar adanya kan, dan baru sekarang mulai terungkap. Di atas pihak keamanan, pastinya ada lagi yang bermain,’’ terangnya. Suara tegas agar Freeport hengkang dari tanah air juga diungkapkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pihaknya mengeluarkan ultimatum keras kepada Freeport untuk bertanggung jawab terhadap konflik Papua atau segera hengkang dari negeri ini. Ketua Umum PP KAMMI, Muhammad Ilyas, dalam pernyataan tertulisnya mengungkapkan bahwa kisruh di Papua dipicu ketidakadilan yang timbul akibat beroperasinya Freeport yang sejatinya memiliki agenda tersembunyi dalam menjalankan operasinya. ’’Freeport sebagai kepanjangan tangan pihak asing benar benar telah melakukan bentuk penjajahan gaya baru terhadap Indonesia.

Dan Papua telah menjadi tumbal pertamanya,’’ tegasnya. Freeport dinilai telah menimbulkan kejahatan ekologi, tragedi kemanusiaan, dan penjajahan ekonomi bangsa. Perusahaan tambang yang sudah beroperasi selama lebih dari 20 tahun ini telah mengeksploitasi dan mengakses kehidupan politik, ekonomi, dan sosial rakyat papua secara membabi buta. ’’Sebaliknya Kekayaan alam dirampok habis oleh Freeport, gunung gunung emas dikeruk dengan serakahnya tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua yang mengakibatkan tragedi kemanusiaan di Papua,’’ terang Ilyas. Tidak berhenti sampai di sini. Kekejaman Freeport terhadap rakyat Papua dengan segala kuasanya mengadu domba rakyat Papua dengan Polisi. Freeport bahkan tidak segan-segan meminta polisi untuk membunuh rakyat Papua. ’’Jelas bahwa keberadaan Freeport di tanah Papua selama ini tidak membawa keuntungan bagi rakyat papua dan Bangsa Indonesia, justru sebaliknya Freeport mengakibatkan kerugian sangat besar dan mendasar bagi rakyat Papua dan Bangsa Indonesia. Jangan kangkangi bangsa kami,’’ tandasnya.



Politik Pencitraan

Pengamat politik J Kristiadi mendesak pemerintah lebih serius menangani persoalan Papua. Konflik yang berkembang saat ini sudah merupakan indikasi terlalu lamanya pemerintah menyelesaikan persoalan. Kebijakan otonomi khusus (otsus) di Papua, merupakan obat mujarab yang cocok dan baik. Sayangnya, regulasi itu hanya keputusan di atas kertas. Tidak ada implementasi nyata dari otsus yang diberikan. ’’Padahal UU Otsus Papua memberian amanat kepada pemerintah daerah membuat peraturan di bawahnya. Sekarang tidak perah ada perda otonomi khusus itu,’’ tutur J Kristiadi usai diskusi Pengamanan Papua di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (3/11).

Pengamat politik ini menilai kebijakan otonomi khusus yang baik tersebut dicederai politik pencitraan. Posisi itulah yang seharusnya dapat dihindari Presiden dalam penyelesaian konflik Papua. Pencitraan tidak menjadi solusi di tanah Papua. Menurutnya pemerintah harus mengambil langkah cepat, tegas dan berdasarkan fakta di Papua. Melepaskan kepentingan politik dan lainnya. Lebih mengedepankan upaya penyelamatan negara kesatuan dan keamanan. Berkaitan dengan sipil bersenjata, dia menjelaskan tetap harus ada kontrol dari aparat keamanan. TNI yang bertugas perlu mempersempit gerak warga sipil bersenjata itu. Dengan berbagai pola yang pantas dilakukan. ’’Sipil bersenjata itu harus ditumpas.

Di negara berdaulat tak dibenarkan ada sipil bersenjata,’’ ucapnya. Sementara itu, kabar adanya gerakan asing yang memboceng pada sejumlah aksi kerusuhan di Papua dibantah Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Semua kejadian di Papua murni peristiwa lokal. ’’Saya sudah bertemu pemerintah Amerika dan New Zealand. Keduanya memberikan support pada pemerintah RI,’’ jelas Purnomo dalam keterangan resminya di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, kemarin. Purnomo menyebutkan secara umum dapat dipastikan ada lima persoalan di Papua. Kelima persoalan itu tak memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Persoalan itu berjalan sendiri-sendiri, dengan agenda berbeda-beda. ’’Pertama berkaitan gerakan separatisme. Ini hanya gerakan yang dilakukan kelompok kecil. Tidak banyak tapi tetap perlu diperhatikan serius,’’ tutur alumnus ITB ini. Persoalan kedua, sebut Purnomo, terjadinya konflik PT Freeport dan karyawannya. Persoalan ini harus dianggap sebagai persoalan korporat semata.

Tidak ada kepentingan apapun dari konflik tersebut. Ketiga, disparitas ekonomi. Ada kesan kondisi ekonomi di Papua sangat buruk dan parah, sehingga memicu berbagai persoalan lainnya. Dalam masalah ini, dia menuturkan pemerintah sudah memiliki aturan dan terobosan. Yakni penerapan UU Otonomi Khusus. Aturan itu sangat baik dan tepat menyelesaikan disparitas ekonomi tersebut. ’’Kami hanya perlu lebih mengoptimalkan UU Otonomi khusus tadi. Sekarang belum berjalan baik,’’ paparnya. Upaya lainnya, sebut dia, pemerintah telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Unit ini bakal bekerja lebih optimal lagi. Persoalan lainnya, lanjut dia, kesenjangan bagi hasil. Pemerintah pusat dianggap terlalu menikmati hasil bumi Papua. Kenyataan ini tidaklah benar. Sebab, 80 persen pendapatan Papua dikembalikan pemerintah pusat. ’’Persoalan kelima adalah Pilkada. Hampir semua wilayah di Indonesia memang punya persoalan pilkada,’’ ujarnya.
sumber : Indopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar