9 Nov 2011

Berhaji Ilegal, Pakai Visa Sandal Jepit


Dari Jeddah, wartawan Jawa Pos Bahari tiba di Makkah. Dia langsung ke Masjidilharam. Di sana, dia menjumpai banyak calon jamaah haji yang berhaji dengan cara nekat dan setengah nekat. Di antara mereka itu, tak sedikit yang berasal dari Indonesia.

RABU dini hari (2/11), saya sudah tiba di Masjidilharam, Mak kah. Saat itu, suasananya sangat ramai. Ratusan ribu calon jamaah haji tampak memenuhi Masjidilharam. Ada yang tawaf, sai, salat tahajud, iktikaf, baca Alquran, bahkan sebagain tidur di serambi, lorong, maupun halaman masjid.

Kalau diperhatikan, sebagian jamaah, khususnya yang tidur di luar masjid, kebanyakan membawa koper, ransel, maupun tas berukuran besar. Mereka tidur di sembarang tempat di halaman masjid. Barang diletakkan begitu saja di samping tidur mereka.

Dari tubuh, warna kulit, maupun pakaian yang dikenakan para jamaah itu, tampaknya, mereka ber asal dari negara-negara di Af ri ka seperti Somalia, Chad, dan negara Islam lainnya. Ada juga war ga Mesir. Mereka pergi ke Tanah Suci dengan naik kapal laut, menyeberang Laut Merah. Mereka datang ke Tanah Suci awalnya dengan visa umrah.

Setelah sampai Makkah, mereka tidak balik lagi ke negaranya, melainkan menunggu musim haji. Ada juga yang dari India, Pakistan, Bangladesh, dan beberapa ne gara Islam lainnya. Bahkan, saya lihat dari Indonesia juga ada. Ada sepasang pria dan perempuan Indonesia yang membawa tas besar tidur keleleran di halaman masjid bersama ratusan jamaah lainnya. Mereka tidak memedulikan dinginnnya malam.

Banyak sebutan untuk para calon jamaah haji yang terkesan seperti keleleran di halaman Masjidilharam itu. Ada yang menyebut mereka haji backpacker, haji koboi, haji bonek, dan sebutan lainnya. Mereka datang ke Makkah umumnya perorangan. Kalaupun berkelompok, jumlah mereka tidak lebih dari lima orang. Mereka tidak menginap di hotel, apartemen, guest house, atau pemondokan.

Tapi, mereka tidur di sembarang tempat. Khususnya di sekitar halaman Masjidilharam. Jumlahnya tak hanya ratusan, tapi ribuan, bahkan puluhan ribu. Hampir di semua tempat di luar Masjidilharam ada jamaah model begitu. Bahkan, di sekitar hotel dan pertokoan dekat Masjidilharam banyak dijumpai. Namun, kehadiran mereka sama sekali tidak mengganggu calon jamaah haji lainnya. Paling-paling yang terganggu hanya petugas cleaning service Masjidilharam yang bekerja 24 jam nonstop. Saat bertugas membersihkan lantai, mesin pembersih meraung-raung keras.

Tujuannya, para jamaah haji backpacker yang tidur di lantai itu segera bangun. Cara tersebut terbukti efektif. Para jamaah haji backpacker itu langsung bangun dan mengemasi barangnya, lalu berpindah ke tempat yang belum dibersihkan. Tapi, ada juga yang membandel. Meski mendengar suara mesin pembersih lantai, mereka tetap saja cuek tidur-tiduran.

Mengatasi kebandelan itu, petugas cleaning service tak kekurangan akal. Mesin terus dinyalakan, meraung-raung. Akhirnya, calon haji backpacker tersebut bangun dan pindah. Soal makan? Tidak ada masalah. Banyak rumah makan, restoran, dan warung siap saji di sekitar pusat perbelanjaan di sekitar Masjidilharam. Makanan apa saja tersedia di sana. Tinggal bungkus dan bayar. Soal mandi, calon jamaah haji backpacker sering menggunakan ribuan toilet yang tersebar di sekitar Masjidilharam. Bahkan, mereka kadang mencuci pakaian ihram di toilet tersebut.

Misalnya, yang saya saksikan pagi itu sekitar pukul 09.00, beberapa jamaah haji menjemur pakaian ihram mereka di halaman masjid. Hanya beberapa puluh menit dibeber, pa kaian itu akan kering karena sengatan matahari cukup terik. Menurut Ustad Idris, salah seorang pembimbing haji di Makkah, jamaah yang tidur sambil membawa koper atau tas di halaman masjid umumnya haji resmi. Artinya, mereka juga mengantongi visa haji dari negara asalnya. Hanya, untuk mengirit biaya selama menunaikan ibadah haji, mereka memilih tidak menginap di hotel, guest house, atau pemondokan. Tapi, memilih tidur di masjid. Selain ngirit, mereka tidak perlu repot-repot naik taksi atau angkutan umum.

’’Ini sudah jadi hal biasa di Makkah,’’ terangnya. Namun, tambah Bahar, TKI yang sudah tiga tahun bermukim di Makkah, tidak sedikit calon jamaah haji yang tidur di halaman Masjidilharam itu memang ilegal. Mereka datang dengan visa umrah menjelang Ramadan, lalu bertahan di Makkah sampai datangnya bulan haji. Untuk bisa bertahan hidup selama menunggu bulan haji, mereka hidup serba ngirit, tidur di masjid, sebagian bekerja apa saja untuk menyambung hidup. ’’Mereka berasal dari mancanegara. Termasuk Indonesia. Paling banyak dari Afrika,’’ kata Bahar.

Tapi, tak sedikit yang benar-benar ilegal. Mereka datang ke Arab Saudi dengan visa bekerja. Tapi, setelah mati, paspor itu dibuang, lalu mereka hidup tanpa identitas. Mereka umumnya memilih bertahan di Masjidilharam sambil menunggu datangnya bu lan haji.

’’Tempat ini (Masjidilha ram) paling aman bagi pendatang ilegal,’’ ujar Udin, TKI yang sudah tiga tahun bermukim di Saudi. Di kalangan agen travel, pemilik visa model begitu disebut visa sandal jepit. Artinya, travel sebenarnya tahu pemegang visa umrah tersebut tidak akan kembali ke negaranya. Tapi, sesampai di Saudi, mereka akan bekerja secara ilegal. Apakah tidak dirazia polisi? Sering.

Tapi, mereka punya cara tersendiri untuk menghindari ra zia polisi. Bahkan, pendatang ilegal khusus dari Afrika berani melawan polisi saat dirazia. Sebab, ada warga Saudi keturunan Afrika yang melindungi me reka dari razia polisi. ’’Solidaritas mereka dari sesama Afrika sangat besar,’’ tuturnya. Cara legal teraman bagi TKI yang bekerja di Saudi untuk naik haji ya melalui travel atau di Saudi disebut muasyasyah. Dengan membayar sekitar 2.500 riyal atau sekitar Rp 7 juta, seorang TKI sudah bisa menunaikan ibadah haji lewat travel itu.

Semua dokumen, penginapan, dan makan selama ibadah haji diurus travel. Bahkan, seorang majikan Saudi yang baik bisa menitipkan pembantu rumah tangga (PRT)-nya kepada muasyasyah jika hendak naik haji. ’’Kalau PRT hilang atau bermasalah, pengurus muasyasyah bisa dituntut, bahkan ditutup karena dianggap lalai,’’ ujar Udin. Tapi, cara haji lewat travel atau muasyasyah itu dianggap terlalu mahal oleh sebagian TKI.

Sebagai gantinya, para TKI yang bekerja di luar Makkah masuk secara ilegal ke Makkah menjelang atau bahkan saat sudah dinyatakan ditutup. Misalnya, menyewa mobil warga lokal. Caranya, begitu satu kilometer menjelang check point terakhir Kota Makkah, mereka turun dari kendaraan, lalu berjalan kaki memutari gunung dan menyeberang masuk Kota Makkah.

Setelah melewati check point, mereka naik kendaraan menuju Kota Makkah. Begitu masuk Kota Makkah, mereka lega. Bahkan, untuk bisa masuk Makkah menjelang bulan haji, tak sedikit TKI yang menggunakan bantuan warga Saudi untuk bisa memasuki Kota Makkah dengan imbalan tertentu. Caranya, mereka akan dibawa warga lokal dengan mobil melewati jalan tikus di daerah pegunungan sekitar Jeddah dan Makkah agar bisa masuk Makkah. Biasanya, sa tu rombongan minimal terdiri atas empat orang. Masing-masing ditarik 500 riyal atau sekitar Rp 1,5 juta. Risikonya, kalau berpapasan dengan mobil patroli tentara di gunung, mereka akan ditabrak. Tanpa kompromi.Itu sangat berbahaya.
sumber : Indopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar